Rihanna feat Eminem - Numb
Click here to download this song - https://www.cx.com/0/filedata/getSharedFile/ld2InzIdEeK_DRICOA-R7w/ucyrTTIbEeKXPBIFOBMgIA?download=true&file=.mp3
Ahmad Faizal
Jumat, 15 Maret 2013
Rabu, 06 Maret 2013
CERPEN - HARUS MULAI DARI MANA AKU KATA
HARUS DARI MANA KU MULAI
KATA
Entah harus dari mana kumulai
kata pembuka hatiku. Setiap kali aku bertemu denganmu, aku selalu saja seperti
terhipnotis, kamu membuatku lupa akan segalanya. Wajahmu selalu saja hadir dan
menimbulkan akan rasa lupa yang membingungkan pada wajah-wajah wanita lain yang
pernah kucintai sebelumnya, begitu kuatnya.
Aku tak pernah tahu dari
jurusan mana kamu datang. Tiba-tiba kamu hadir begitu saja, membawa keremangan
takdirku. Kamu membekap hatiku dalam kebimbangan cinta—tanpa arah, tanpa tujuan
pasti, tapi aku suka. Entah kamu anugerah ataukah mungkin malah penderitaanku.
Aku ingat ketika pertama kali
mengenalmu. Perpustakaan adalah kata kuncinya. Entah kenapa aku selalu memilih
meja dan kursi yang sama demi membaca buku, mungkin karena tata letaknya yang
dekat dengan jendela hingga aku bisa merasakan sepoi angin membelaiku. Saat itu
kutemukan sebuah buku agenda di atas meja tempat biasanya aku membaca buku-buku
perpustakaan. Kubuka lembaran pertama buku agenda itu. Nama dan nomor handphone
pemiliknya tertulis jelas pada lembaran pertama. Dari situlah akhirnya aku
mengenalmu—kamu adalah pemilik buku agenda itu.
Paling tidak seminggu dua kali
kita selalu menyempatkan diri untuk bertemu di perpustakaan, di meja yang sama.
Kita selalu membahas bacaan yang sama, sajak yang sama, novel yang sama,
filsafat yang sama. Tapi kita tidak pernah membahas tentang cinta yang sama.
Padahal ingin sekali aku
mendongengkan tentang cerita kerajaan hatiku padamu. Ingin sekali aku berlutut
didepanmu dan meneriakkan yel-yel di perpustakaan ini ”Aku cinta padamu Laras,
aku sayang padamu Laras….”, tanpa peduli dengan tulisan ’harap tenang’ yang
tertempel disetiap sudut temboknya, tanpa peduli pada amukan penjaga
perpustakaan yang matanya melotot seperti penjagal berdarah dingin dan suaranya
yang seperti petir menggelegar itu.
Namun mulutku selalu saja
terkunci, lidahku kelu. Entah kenapa tubuhku selalu bergetar, menggigil dalam
euforia dan ketakutan bercampur baur. Ungkapan hatiku selalu saja terhalang
dengan kepengecutanku. Ataukah karena aku takut kamu tolak?
Ataukah karena aku tak
berhasrat untuk menyatakan cinta? Karena aku sering merasa seolah-olah jiwaku,
dalam dunia kehidupan khayalku, berdekatan sangat erat denganmu, jiwaku dan
jiwamu dengan esensi dan substansi yang sama, telah ditakdirkan untuk bersama,
dan itu telah cukup bagiku — apakah aku seorang pecinta yang bodoh?
Hari itu di tempat biasa kita
bertemu, kamu menyodorkan potret seorang lelaki kepadaku. Ah, hatiku serasa
dilandai badai. Dia tampan, katamu. Tapi aku hanya diam membisu kelu tak
berbahasa dalam kata. Kutatap potret itu, entah kenapa hatiku sepertinya sedih,
tapi disisi lain aku bahagia. Sedih karena teriris perih ngilu pilu disayat
sembilu luka cinta. Dan bahagia jika kamu memang telah menemukan kebahagian
bersama lelaki pilihanmu.
Kukembalikan potret itu ke
dalam tanganmu, kuberikan gurat senyum paksa. Lantas kamu menyimpannya kembali
kedalam dompetmu, kusimpan pula lembaran hatiku jauh dalam almari angan-angan.
”Gimana tampan kan?” tanyamu
lagi. Rupanya kamu seorang gadis yang butuh penegasan. Aku hanya menjawab
dengan anggukan setengah terpaksa saja.
”Namanya Raka. Kemarin dia
menyatakan cintanya kepadaku. Dan aku menerimanya.”ucapmu.
”Hmmm…bagus itu.”komentarku datar.
Bibirku tersungging meski hatiku tersinggung pedih sakit. Tapi aku tidak boleh
kelihatan sedih didepanmu. Aku harus tegar sekuat batu karang yang kokoh tak
bergeming dilanda ombak yang mengganas. Walaupun ketegaranku cuma pura-pura
belaka.
Setelah itu kamu tidak pernah
lagi ke perpustakaan, kamu menghilang. Bahkan nomor handphonemu pun tidak
aktif. Apakah karena kamu sudah menemukan tambatan hatimu si Raka itu, lantas
kamu melupakanku begitu saja? Setidaknya aku hanya ingin kamu anggap sebagai
temanmu, karena sudah tidak mungkin lagi aku berharap menjadi cintamu.
***
Sudah dua bulan. Tidak!
Persisnya sebulan lebih dua puluh hari sejak aku kehilangan kamu. Namun
kenangan kerlingan sepasang mata dan senyum lesung pipitmu begitu
menghanyutkanku. Dari bangku perpustakaan inilah selalu kuperhatikan wajahmu
nan ayu ketika kita duduk saling berhadapan.
Bibirmu yang begitu ranum dan
setengah membuka saat membaca buku. Sepertinya bibir itu baru saja terlepas
dari ciuman panjang dan hangat yang belum terpuaskan. Helai-helai rambutmu yang
panjang hitam legam lurus terurai bergerak disaput sepoi angin nakal yang
muncul dari jendela, sehingga seringkali kamu berusaha untuk menyibaknya
kembali ke belakang jika rambut indahmu menyapa nakal permukaan wajahmu yang
ayu.
Ketenanganmu membaca buku,
gemulai tanganmu yang membolak-balik buku memperlihatkan sifat alami yang tak
terbatasi ruang dan waktu. Ah aku sepertinya tidak akan sanggup melupakanmu.
Hakikat esensi dirimu yang lembut telah menciptakan rasa pengabdian yang begitu
kokoh dalam sisi kejantananku.
Kamu telah terlanjur membuat
hatiku terbakar dan meleleh perlahan menyakitkan. Kamu membuat lidahku tak lagi
merasa nikmat mengecap rasa makanan yang kata orang-orang begitu lezat. Tahukah
kamu aku selalu memikirkan hal yang sama setiap hari setelah kamu menghilang.
Apakah kini mungkin bagiku untuk benar-benar berhenti menatapmu?
Mungkinkah aku akan benar-benar
melupakanmu? Tapi semuanya itu berlangsung diluar kendaliku. Sebulan lebih dua
puluh hari aku selalu mengelilingi perpustakaan ini, begitu seringnya, hingga
aku dapat mengenali tata letak semua buku yang ada di rak perpustakaan ini
melebihi pengetahuan penjaga perpustakaan ini. Namun terlepas betapa aku telah
menunggumu dan mencarimu di perpustakaan ini, semuanya sia-sia belaka. Aku
selalu saja kalah.
***
Hari ini seperti biasanya
kulewatkan waktu istirahat siangku dengan membaca di perpustakaan. Dari jendela
yang terbuka aku dapat menatap hujan yang turun. Dalam cuaca hujan aku merasa
bebas dan santai, seolah-olah tetes titik hujan membasuh pikiran-pikiran
sedihku.
Akan tetapi, hari ini aku
merasa ada suatu perasaan istemewa yang mengendap dalam ceruk mataku masuk
menjelajahi pikiranku. Kulihat sosok wanita berpakaian putih, laksana seorang
malaikat berjalan menuju arahku. Lantas wanita itu berdiri didepanku.
Kudongakkan kepalaku memandangnya. Kerlingan sepasang mata dan senyum lesung
pipit itu, tidak mungkin kulupa. Itu kamu. Ya, itu kamu.
Aku tetap duduk. Aku terdiam
bagai batu gapura candi, merasa bagaikan seorang yang bermimpi dan tidak ingin
bangun dari mimpinya. Aku merasa mendapatkan suatu kepuasan yang tak
terungkapkan—seperti seorang anak kecil yang bahagia karena dibelikan kembang
gula oleh ibunya.
Kamu mengambil tempat duduk,
lalu duduk dihadapanku. Jantungku berhenti berdetak. Kutahan nafasku karena
cemas kalau-kalau nafasku akan membuatmu menghilang lagi, minggat dari
keberadaanmu, seolah-olah kamu adalah kepulan asap rokok yang biasanya kuhisap
nikmat.
”Bagaimana kabar kamu?” tanyamu
mengawali pembicaraan.
Wajahmu menunjukkan ekspresi
tenang. Tapi matamu seolah menyembunyikan sesuatu.
”Aku baik-baik saja” jawabku.
Keringat dingin membasahi
dahiku. Kusapu dengan ujung lengan bajuku.
”Aku tahu kamu selalu berada di
perpustakaan ini. Aku hendak memberikan ini kepadamu.”katamu seraya menyodorkan
sebuah undangan pertunangan. Tertera namamu dan Raka di bagian depannya. Aku
bisa membaca isinya walau aku tidak membukanya.
”Selamat ya…”ucapku
menyembunyikan sedih.
Kusodorkan tanganku hendak
menyelamati kamu. Tapi kamu menampiknya. Lantas aku hanya terdiam. Aku sungguh
tidak mengerti.
”Hugghhh…Ternyata selama ini
aku bodoh…”katamu.
”Bodoh?” tanyaku penasaran.
”Ya, aku bodoh, aku mengira
kamu mencintaiku.”
Kutundukkan wajahku.
”Kamu tidak bodoh, aku memang
mencintaimu.”ujarku lirih hingga seperti sebuah bisikan saja.
Entah mengapa kamu malah
menangis terisak.
”Kenapa kamu baru mengatakannya
sekarang? Kenapa tidak sedari dulu sewaktu kita bertemu.?” ucapmu.
”Aku…a..ku…aku takut kamu
tolak.”
”Tahu tidak?! Untuk berkenalan
denganmu aku sengaja menaruh buku agendaku di atas meja perpustakaan tempat
biasanya kamu membaca buku, tujuanku supaya kamu bisa menemukannya dan
mengembalikannya kepadaku. Sudah lama aku melihatmu di perpustakaan ini. Sudah
lama aku diam-diam mencintaimu, bahkan sebelum kita berkenalan. Tapi mengapa
kamu hanya diam saja, bahkan saat Raka hadir dalam kehidupanku? Wanita itu
butuh ketegasan dari laki-laki!”isakmu.
Aku sungguh kaget dengan
penuturanmu. Benarkah itu semua? Kalau begitu selama ini aku sungguh bodoh
sekali.
”Tapi kini semuanya sudah
terlambat. Tidak ada kesempatan lagi untukku.”kataku sambil kutatap undangan
darimu.
”Rio…Tidak ada kata terlambat!
Betapapun Dewi fortuna adalah sosok perempuan yang berkenan hanya terhadap
laki-laki yang berani, punya nyali dan mampu menguasai setiap kesempatan, bukan
laki-laki yang hanya diam dan menyerah kalah!”serumu memecah kebimbangan
hatiku.
Aku segera tersadar, lantas aku
berlutut didepanmu dan meneriakkan gema yel-yel dalam perpustakaan ”Aku cinta
padamu Laras, aku sayang padamu Laras….”, tanpa peduli dengan tulisan ’harap
tenang’ yang tertempel disetiap sudut temboknya, tanpa peduli pada amukan
penjaga perpustakaan yang matanya melotot seperti penjagal berdarah dingin dan
suaranya menggelegar seperti petir mengancamku untuk tenang dan diam.
Kamu hanya mendekapku dalam
tangisan. Entah mengapa aku sangat bahagia sekali saat kamu membisikkan
”bawalah aku pergi dalam duniamu, dalam kerajaan hatimu…” Ternyata selama ini
kita benar-benar berada dalam cinta yang sama. Bukan hanya dalam khayalanku
saja.
Kini aku tak tahu darimana
harus kumulai kata untuk meminangmu. Memintamu menjadi pendamping hidupku,
bukan sekedar pacar. Tapi sebelumnya biarkanlah aku dongengkan perihal kerajaan
hatiku kepadamu — dimana rajanya adalah aku dan permaisurinya adalah kamu.
*****Pepatah
Ungkapan
perasaan cinta memang bukan hanya sekadar kata, namun cinta dapat pula
diungkapkan dengan genggaman tangan yang erat namun lembut, pun tatapan hangat
namun tajam setajam isi hati. Tetapi itu bukanlah alasan bahwa kamu boleh
memendam perasaan cinta.
Cinta
harus diungkapkan dengan perkataan, karena cinta butuh kepastian. Kepastian
yang menyatakan isi hati. Ketahuilah, perkataan adalah sosok yang paling mampu
untuk mewakili isi hati, karena sedekat apapun kamu dengan seseorang, kamu
tidak akan pernah mengetahui isi hatinya.
Berani
dan jujurlah dengan perasaanmu. Singkirkan rasa takutmu, karena pada hakekatnya,
cinta hanyalah untuk mereka yang berani, bukan mereka yang pengecut, yang hanya
bisa memuji dalam hati, mengagumi dalam mimpi.
Langganan:
Postingan (Atom)